Friday, January 6, 2012

If I Say: part 3


“Laper nih,” Erick terlihat meremas perutnya. “Makan dulu yuk! Mainnya nanti lagi.” Kami berlima―Mary, Sam, Erick, Julie dan aku―sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Dalam rangka ulang tahun Erick, aku dan yang lain―yang merupakan teman kursus Erick―di traktir menonton film dan makan siang.

Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat hadir. Memang pada awalnya  sangat bersemangat. Namun, kejadian semalam membunuh mood-ku. Peristiwa itu, lagi-lagi, terjadi karena kebodohanku.

Pada malam itu, aku membuka laptop. Tujuan utamanya untuk mendownload beberapa lagu. Aku mencoba menyuri waktu untuk melihat kontak Sam di social network tersebut. Offline tertera di atas namanya. Padahal aku sangat berharap ia sedang online dan memberi pesan terlebih dahulu. Tapi, harapan adalah harapan. Kadang tercapai, kadang pupus begitu saja.

Ditengah proses mendownload, terdengar bunyi peringatan pertanda ada yang baru online dan itu Sam. Wow! Cepat sekali Tuhan mengabulkan permintaanku. Seperti yang kutebak, tak lama Sam mengirim pesan. Menanyakan kehadiranku pada acara ulang tahun Erick pada esok hari. Aku menjawab aku datang. Tiba-tiba jemariku mengetik kalimat yang, benar-benar, tidak mau kukatakan. Tapi mengapa ini? Bodoh!

Mona : sam, besok kan ada mary
Nah knp ga lu tembak ajah sekalian?
Samuel : ha? Tembak?
Mona : iya. Nembak
Kelamaan pedekate lu!
Kasian tuh cewe di gantungin mulu ama lu
Samuel : mon, gue sama sekali ga kepikiran buat nembak dia akhir2 ini
Nanti ajah ya
Mona : skrg atau nanti apa bedanya?
Samuel : mona, gue
Mona : udahlah sam
Lu berdua kan saling suka. Nunggu apa lg?
Samuel : okeh kalo itu mau lu
Mona : loh ko mau gue?
Itukan kemauan kalian
gue Cuma jadi perantara ajah :)
***

Akhirnya Erick memutuskan restoran mana yang akan menjadi tempat pengisian perut. Aku berfirasat bahwa Sam akan mengatakan 3 kata itu di saat-saat seperti ini. Saat menunggu pesanan datang.

“Guys, gue ke sana sebentar ya,” aku menunjuk sebuah toko baju. Dustaku. Sebelum meninggalkan tempat, aku tersenyum kepada Sam dan mengucapkan, “It’s your time.” Tanpa suara dengan artikulasi yang jelas. Lalu berjalan keluar. Entah kemana, aku sudah lupa alasan kepergianku. Berjalan ditengah lalu lalang orang-orang dengan tatapan kosong. Tak ada semangat. Tak ada gairah. Membiarkan waktu terus berjalan. Pikiranku melayang pergi. Memikirkan kata-kata yang akan kurangkai untuk ucapan selamat nanti. Tenggelam jauh dalam kesedihan sampai ada seseorang menarik lenganku.

Rambut yang sedikit berantakan dengan senyum ramah menganggumkan. Raut wajah yang lelah tidak mampu menyembunyikan ketampanannya. Sepertinya ia mengejarku.

“Ada apa, Sam? Lho, kok lo disini?”

“Gue bilang ke mereka kalo gue mau ke toilet.” Ia menghela nafas. Cowok itu tersenyum dan menaikkan kedua alisnya. Di saat-saat seperti ini, mengapa aku masih sempat terpesona olehnya?

“Toilet kan disana.” Menunjuk arah yang berlawanan.

“Iya gue tau kok,” Aku memasang muka bingung. Jujur, aku tak mengerti maksud manusia ini. “Gue pingin ketemu lo.” Mimik muka berubah menjadi serius seketika.

“Ngapain emang? Lah kan sekarang waktunya lo nembak dia, Sam. Tadi kan gue udah ngasih tau. Nanti kalo nggak ada waktu lagi gima...”

“Mona, gue nembak lo ajah ya.” Mulutku terbuka tak disadari. Aku masih menatap dia dengan ketidakpercayaan. Bisa dirasakan, hatiku meletupkan ribuan kembang api. Kaget, bingung dan senang. Suatu kombinasi perasaan yang mencapai keseimbangan. Ya, keseimbangan hidup. Tuhan, aku memang mengharapkan ini. Tapi tolong jangan kau biarkanku mengakhayal terlalu tinggi, aku takut bila terjatuh. Aku sadar aku harus bangun dari mimpi indah yang mungkin hanya dapat dirasakan sekali selama jantung berdetak.
 *** 


to be continued...

No comments:

Post a Comment

what do you think?