Monday, January 9, 2012

If I Say: part 4

Sam melambaikan tangannya didepan pelupuk mata. Membuyarkan lamunan dan membuat aku sadar kembali. “Hah? Eh? Kok lo ngomongnya gitu sih, Sam. Jangan ngaco deh! Udah balik sana. Ada Mary menunggu.” Aku menggodanya hanya untuk menutupi kegirangan hati.

“Gue suka sama lo, Mon,” jawabnya yakin. “Bukan Mary.” Lirih.

“Tapi...” aku kehabisan kata-kata, tak percaya. “Tapi lo kan selama ini suka sama Mary, Sam!”

“Kapan gue pernah bilang kalo gue suka sama tuh cewek!?” sorotan matanya tajam bagaikan sebilah pisau yang bersiap menikamku. Ia mulai dikuasai amarahnya. Mencerna kalimat Sam, aku sadar. Ya ampun! Dia benar! Sam tidak pernah mengatakan bahwa dia suka sama Mary. Bodohnya diriku. Aku hanya dikuasai oleh perasaan khawatir dan cemburu. Sehingga pikiranku gelap dan buta. Aku bergeming.

“Lo masih inget pas kita chatting dan gue ngirim foto lo yang gue ambil diam-diam?” Ya, aku ingat Sam. Aku ingat kejadian manis itu. Sangat jelas tertera di memori saat ia mengirim fotoku ketika kami sedang hunting foto. Disana, tergambar aku sedang memotret sebuah objek dengan sangat serius. Kelihaian tangannya membuat foto itu menjadi indah.

Aku mengangguk. “Itu Cuma 1 foto dari ratusan foto tentang lo, Mon.” Ucapnya lembut.

Bagaikan turun hujan ditengah kemarau panjang, momen ini sangat kuharapakan. Namun, aku tak kuasa melihat air mata teman baruku jatuh karena ulahku sendiri. Aku tak tega melihat Mary murung. Dia sangat bersemangat ketika tahu Sam mencintainya. Mungkin dia akan bersemangat juga bila tahu sebenarnya Sam menyukaiku. Bersemangat bunuh diri, maksudnya.

“Tapi, kalo lo suka dari awal, kenapa lo nggak nembak gue sebelumnya?”

“Lo yang nggak pernah ngasih gue kesempatan, Mona!” Sam mencengkram kedua bahuku. Aku menatap kedua mata cowok itu. Tersirat rasa lelah. Sepertinya ia sudah tak mampu menjalani sandiwara ini. Tak mampu lagi menambah kebohongan-kebohongan lain. “Lo masih inget chatting-an kita semalam? Gue pingin jujur sama lo. Tapi lo malah memotong pembicaraan! Gue capek ngikutin semua skenario lo, Mon! Disaat gue jujur, lo menganggap gue bohong. Begitu pun sebaliknya. Makanya gue terima permainan lo ini.”

Betapa kejamnya aku. Kuabaikan pandangannya. Tak mampu menatap balik padanya. Aku benar-benar tak kuasa melihat Sam seperti ini. Hancur karenaku. Masih mengcengkram kedua bahuku, “Mona,” ucapnya lembut.

Aku menepis kedua tangan yang bersandar dibahuku. Terlihat dari sudut mataku, Sam kaget dengan reaksi yang aku berikan. Aku bingung keputusan apa yang harus kupilih. Melihat orang lain bahagia disaat aku terpuruk, atau melihat aku bahagia disaat seseorang disana menangis pilu.

“Tembak dia, Sam.” Ucapku lemah. Terdengar nada suaraku mulai bergetar. Menahan tangis yang segera meledak. “Lo tau dia cinta sama lo dan lo merespon dia.” Aku mengambil napas. Benar-benar sulit mengeluarkan kata-kata yang ada dihati. Setiap kata terasa tertahan di tenggorokan. “Kalo memang benar lo suka sama gue, kenapa nggak dari awal lo nolak gue deketin sama Mary?”

“Gue...” ia berhenti bicara. Sepertinya merangkai kata. “Gue pikir kalo gue mengiyakan semua tawaran lo, gue bisa makin dekat sama lo.”

Sebenarnya apa lagi yang kutunggu? Sam mencintaiku dan begitu pun sebaliknya. Tapi, semakin aku mau menerima Sam, semakin sering terbayang wajah Mary.

“Lo udah ngasih harapan ke Mary. Jangan buat itu menjadi harapan kosong. Di beri harapan kosong itu lebih sakit lho, daripada nggak di respon sama sekali.” Hatiku mencelos. “Memang perbuatan gue salah, menghakimi lo seenaknya. Tapi, gue yakin tindakan lo sama salahnya kalo lo ngasih harapan palsu ke cewek itu.” Aku menunduk dalam. Berusaha menyembunyikan mataku yang mulai memerah.

“Tapi, mon...”

“Plis, Sam. Tembak dia.” Keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau melihat temanku kecewa. Sam, kalau kita memang orang yang dipertemukan untuk bersama, suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi. Ini hanya masalah waktu. ”Demi gue.”

“Mona?” Sam tidak percaya dengan apa yang kukatakan. Wajar. Aku sendiri tak percaya dengan kalimat bodoh yang kulontarkan.

“Tembak dia, demi gue.”

Kami berdua memang sama-sama naif. Hanya karena ketidakpunyaan keberanian, cinta kami tak menyatu. Aku dan Sam berdiri diam. Membiarkan orang-orang berjalan-jalan di sekeliling. Suara celoteh pengunjung maupun ocehan sales tak lagi terdengar. Hanya degup jantungku yang bisa terjangkau telinga. Aku merasa lututku sudah tak mampu menompang tubuh. Bisa saja aku jatuh pingsan sewaktu-waktu.

Kulihat Sam, dia masih menatapku dengan tatapan sedih. Ia terlihat seperti sedang berpikir. Aku masih diam. Menahan air mata yang akan terjun bebas. Aku benar-benar tak kuasa berbicara lagi. Keluar satu kata lagi dari bibirku akan membuat tangisku meledak.

Sam yang terlihat kacau, perlahan tersenyum. Senyuman dalam sedih. Senyuman dalam penderitaan. Lalu ia mulai membuka mulut. Sungguh, aku tak ingin mendengar apa yang ia katakan.

“Oke, kalo itu yang lo mau. Gue akan nembak dia. Demi lo.” Ia memberikan senyumannya yang khas. Senyuman yang melambangkan tidak terjadi apa-apa aku dan dirinya. Sam pun balik badan. Meninggalkanku yang sedang menunduk menatap dasar bumi. Bahuku terguncang-guncang. Ya, aku menangis.

Sam, jangan berikan senyum sedihmu lagi padaku...

***

To be continued

Sunday, January 8, 2012

aman

WOW! Udah lama banget gue nggak nulis hasil campur-menyampur hal dunia nyata dan dunia khayal. gue punya cerita yang, menurut gue, unik. Hari ini, pas pulang dari rutinitas baru gue tiap sabtu minggu: mengunjungi rumah kakak, gue mengamati beberapa orang yang menarik.

Pertama, ini kisah dua orang pemuda-pemudi di tepi pasar. Pas sedang duduk terkantuk-kantuk di angkutan kota, gue dibuat melek seketika oleh dua insan yang sangat romantis itu. Mau tau kronologinya?  Cekidot!!

Di pinggiran jalan raya dekat pasar, ada 3 remaja sedang berjalan ke arah yang berlawanan dengan gue: 2 cowok dan 1 cewek. Posisinya si cewek itu ditengah. Dari penampilannya, mereka itu anak dance deh atau nggak anak gaul. Kenapa? Soalnya mereka pake sepatu SB merk Nike atau Supra gitu.

Yang menyita perhatian gue adalah perlakuan seorang cowok yang paling tinggi ke cewek.  Cowok itu menutupi mata cewek―yang tentu saja lebih pendek darinya―dengan tangan kanannya. Jadi, cewek itu berjalan dituntun ama cowok! Romantis ga? Romantis kan? Iya kan? Bilang iya plis. Awas ajah kalo bilang nggak. Tabok nih!

Lanjut! Pemikiran pertama yang terlintas di otak gue adalah: mereka lagi merayakan anniversary. Terus si cowok bikin kejutan, tapi biar kelihatan surprise si cewek ditutup matanya. Nah pas cewek itu buka mata, si cowok bilang “SURPPRISEEE!!”. Dan cewek pun terkaget-kaget karena didepannya banyak penghuni pasar―tukang sayur, tukang daging, tukang emas, engkoh-engkoh dll―yang memegang bunga mawar. Mereka pun mau karena hasil rayuan, bujukan dan taktik tampang melas cowok itu. Okay, ini Cuma khayalan gue.

Setelah berhasil menebak-nebak kenapa mereka bermesra ria seperti itu di tempat yang tidak tepat, gue dapet jawaban  terbaik gue! Ternyata oh ternyata, daerah deket mereka jalan itu ada ambulan dan ada yang meninggal. Let’s say Inalillahi wainaillaihi rojiun. Tebakan gue sih, si cewek takut melihat ambulan dan hal-hal yang berbau kematian. Mungkin. Karena temen gue pun ada yang seperti itu.

Karena takut, kaum hawa itu bilang, “demi apa itu ambulan? Ah gue takut! Jangan lewat sini ya, plis. Gue takut nih,”

Setelah berpikir-pikir, akhirnya cowok itu membuat keputusan, “Yah. Nggak ada jalan lain. Ini udah deket kok. Kita jalan terus ajah ya?”

Si cewek benar-benar merasa di puncak ketakutannya dan dia bersikeras menentang ide gila pacarnya. “Tapi..”

Belum selesai berbicara, cowoknya punya ide yang tepat. “kita tetep jalan. Gue tutup mata lo sama tangan gue. Jadi lo nggak ngeliat ambulan itu. Gimana?” dengan pasrah, si cewek menuruti kemauan pacarnya yang tersayang itu.

Kehangatan yang diberikan melalui jemari pacarnya yang menutupi matanya itu memberikan rasa aman yang meredakan takut. Sangat nyaman.

Merasa cewek yang ada dilindungannya masih sedikit merasa ketakutan, ia berpikir lagi bagaimana menenangkan ceweknya. “Nggak usah takut. Lo aman di samping gue.” Bisiknya tegas namun tersirat lembut. Terukir senyuman diwajah ceweknya. Dan mereka berjalan santai melewati daerah duka.

***
Selesai! Itu lah hasil khayalan gue tentang dua pemuda-pemudi yang sesuatu itu. Sebenernya yang masih bikin gue bingung itu adalah... apa peran si cowok yang satunya?

sekian

Friday, January 6, 2012

If I Say: part 3


“Laper nih,” Erick terlihat meremas perutnya. “Makan dulu yuk! Mainnya nanti lagi.” Kami berlima―Mary, Sam, Erick, Julie dan aku―sedang berada di pusat perbelanjaan terbesar di kota ini. Dalam rangka ulang tahun Erick, aku dan yang lain―yang merupakan teman kursus Erick―di traktir menonton film dan makan siang.

Sebenarnya aku sama sekali tidak berniat hadir. Memang pada awalnya  sangat bersemangat. Namun, kejadian semalam membunuh mood-ku. Peristiwa itu, lagi-lagi, terjadi karena kebodohanku.

Pada malam itu, aku membuka laptop. Tujuan utamanya untuk mendownload beberapa lagu. Aku mencoba menyuri waktu untuk melihat kontak Sam di social network tersebut. Offline tertera di atas namanya. Padahal aku sangat berharap ia sedang online dan memberi pesan terlebih dahulu. Tapi, harapan adalah harapan. Kadang tercapai, kadang pupus begitu saja.

Ditengah proses mendownload, terdengar bunyi peringatan pertanda ada yang baru online dan itu Sam. Wow! Cepat sekali Tuhan mengabulkan permintaanku. Seperti yang kutebak, tak lama Sam mengirim pesan. Menanyakan kehadiranku pada acara ulang tahun Erick pada esok hari. Aku menjawab aku datang. Tiba-tiba jemariku mengetik kalimat yang, benar-benar, tidak mau kukatakan. Tapi mengapa ini? Bodoh!

Mona : sam, besok kan ada mary
Nah knp ga lu tembak ajah sekalian?
Samuel : ha? Tembak?
Mona : iya. Nembak
Kelamaan pedekate lu!
Kasian tuh cewe di gantungin mulu ama lu
Samuel : mon, gue sama sekali ga kepikiran buat nembak dia akhir2 ini
Nanti ajah ya
Mona : skrg atau nanti apa bedanya?
Samuel : mona, gue
Mona : udahlah sam
Lu berdua kan saling suka. Nunggu apa lg?
Samuel : okeh kalo itu mau lu
Mona : loh ko mau gue?
Itukan kemauan kalian
gue Cuma jadi perantara ajah :)
***

Akhirnya Erick memutuskan restoran mana yang akan menjadi tempat pengisian perut. Aku berfirasat bahwa Sam akan mengatakan 3 kata itu di saat-saat seperti ini. Saat menunggu pesanan datang.

“Guys, gue ke sana sebentar ya,” aku menunjuk sebuah toko baju. Dustaku. Sebelum meninggalkan tempat, aku tersenyum kepada Sam dan mengucapkan, “It’s your time.” Tanpa suara dengan artikulasi yang jelas. Lalu berjalan keluar. Entah kemana, aku sudah lupa alasan kepergianku. Berjalan ditengah lalu lalang orang-orang dengan tatapan kosong. Tak ada semangat. Tak ada gairah. Membiarkan waktu terus berjalan. Pikiranku melayang pergi. Memikirkan kata-kata yang akan kurangkai untuk ucapan selamat nanti. Tenggelam jauh dalam kesedihan sampai ada seseorang menarik lenganku.

Rambut yang sedikit berantakan dengan senyum ramah menganggumkan. Raut wajah yang lelah tidak mampu menyembunyikan ketampanannya. Sepertinya ia mengejarku.

“Ada apa, Sam? Lho, kok lo disini?”

“Gue bilang ke mereka kalo gue mau ke toilet.” Ia menghela nafas. Cowok itu tersenyum dan menaikkan kedua alisnya. Di saat-saat seperti ini, mengapa aku masih sempat terpesona olehnya?

“Toilet kan disana.” Menunjuk arah yang berlawanan.

“Iya gue tau kok,” Aku memasang muka bingung. Jujur, aku tak mengerti maksud manusia ini. “Gue pingin ketemu lo.” Mimik muka berubah menjadi serius seketika.

“Ngapain emang? Lah kan sekarang waktunya lo nembak dia, Sam. Tadi kan gue udah ngasih tau. Nanti kalo nggak ada waktu lagi gima...”

“Mona, gue nembak lo ajah ya.” Mulutku terbuka tak disadari. Aku masih menatap dia dengan ketidakpercayaan. Bisa dirasakan, hatiku meletupkan ribuan kembang api. Kaget, bingung dan senang. Suatu kombinasi perasaan yang mencapai keseimbangan. Ya, keseimbangan hidup. Tuhan, aku memang mengharapkan ini. Tapi tolong jangan kau biarkanku mengakhayal terlalu tinggi, aku takut bila terjatuh. Aku sadar aku harus bangun dari mimpi indah yang mungkin hanya dapat dirasakan sekali selama jantung berdetak.
 *** 


to be continued...

Kahlil Gibran - Lagu Gelombang

aku telah bernyanyi untukmu
tapi kau tidak juga menari
aku telah menangis di depanmu
tapi kau tidak juga mengerti
haruskan aku menangis sambil bernyanyi?

Monday, January 2, 2012

If I Say: part 2


8 bulan kami―aku dan Sam―berteman, hubungan kami semakin dekat. Namun, hanya sebatas teman. Aku mencoba untuk menahan perasaanku yang tak karuan. Beberapa hal aneh terjadi pada raga ini. Aku mulai senang menerima pesan singkat dari Sam. Sangat nyaman bila bercengkrama dengannya. Aku tahu jelas perasaan yang sedang kualami. Perasaan manusiawi yang timbul bila orang itu tertarik dan merasa nyaman terhadap orang yang lainnya. Aku mencoba menangkis rasa itu. Apadaya, usahaku sia-sia. Aku mulai mencintainya.

Aku masih bersikeras membuang jauh-jauh rasa cintaku pada dia. Perasaan yang tak wajar, bahkan tak kuharapkan sama sekali kedatangannya. Rasa cinta ini hanya penganggu apalagi bila tak terbalas. Dan aku semakin ingin memusnahkan perasaan ini ketika tahu dia mulai tertarik dengan orang lain.

Kuberikan minuman kaleng isotonik padanya. “Nih Sam!”. Kami duduk di kantin, terletak meja panjang putih di depannya.

“Trims,” ucapnya tersenyum dan mengambil minuman ditanganku. “Oh iya, lo tahu nggak anak cewek baru yang ada di tempat kursus kita?”

Aku mengambil posisi duduk tepat di depannya. Di sepanjang meja itu kosong, hanya kami berdua yang menempatinya. “Iya tahu,” aku mengangguk. “Siapa namanya? Me... Ma... Aduh lupa.” Aku tertawa renyah menutupi malu karena tak pandai mengahapal nama seseorang.

“Mary.” Jawabnya. Aku teringat dengan siswi baru yang berparas indah. Mata birunya sangat mengagumkan. Rambutnya yang bergelombang kecokelatan dibiarkan terurai dengan indah dibalik punggungnya. Anggun. Kulitnya yang kuning langsat pun mulus tak bernoda. Benar-benar wanita yang diidolakan kaum adam.

Semua cowok di kelas heboh membicarakannya. Aku kira Sam satu-satunya cowok yang tak begitu tertarik dengan “Barbie” itu. Karena saat semua orang sibuk menganggumi manusia berparas bidadari, hanya Sam yang duduk dalam diam di sampingku. Dugaanku meleset. Sam tak lebih seperti semua lelaki yang menganggumi wanita cantik.

“Nah iya Mary!” aku tertawa kembali. Entah mengapa, saat aku bersama Sam, yang ingin ku lakukan hanya tertawa. Salah tingkah, mungkin. “Emangnya kenapa, Sam?”

“Nggak, nggak apa-apa.” Ucapnya tersenyum. Manis sekali.

“Ah masa? Lo suka ya?” Godaku. Begitu spontan.

Dia tersedak minuman. Mungkin dia tak menyangka aku akan menggodanya. “Apa sih lo! Rese.” Jawabnya dengan sedikit kesal.

“Kalo suka, bilang ajah kali Sam. Nggak usah ditutup-tutupin,” aku makin bersemangat menggodanya. Lalu aku menepuk pundaknya, “Masih kaku ajah lo ama gue.”

“Apa deh lo, Mon.” Sam pasrah. “Hmm... By the way, si Mary cantik ya?” ucapnya sedikit nada ragu tersirat.

Kali ini aku yang tersedak. Tak menyangka Sam akan mengeluarkan pertanyaan―mungkin lebih tepat disebut pernyataan―seperti itu. Bingo! Dia membuat orang yang berada di depannya patah hati. Bisa kurasakan, hati ini mulai runtuh menjadi partikel-partikel terkecil di alam semesta. Patah hati untuk orang yang sedang jatuh cinta memang wajar. Aku percaya, setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti pernah patah hati juga.

“Lo kenapa, Mon? Pelan-pelan dong Mona minumnya.” Sam meninggalkan kursinya. menghampiri lalu mengelus punggungku. Aku, yang hidungnya masih sakit karena tersedak, berdebar-debar. Suara Sam yang begitu hangat terasa dekat. Sepertinya, bibir Sam hanya berjarak beberapa milimeter dari cuping telingaku.

Kalau memang kau mulai tertarik dengan orang lain, mengapa kau masih bersikap manis padaku, Sam? Tak kasihankah kau padaku? Apa kau sengaja membiarkanku memiliki harapan kosong?

“Gue nggak apa-apa kok,” mengangguk pelan. “Tadi cuma keselek doang.” Aku tertawa dengan suku kata yang jelas. Terdengar sangat dipaksakan. “Iya, Mary cantik. Seengganya lebih cantik daripada gue.” aku memberikan lelucon, yang sepertinya terdengar tak lucu.
***

Sekarang aku semakin tak mengerti apa yang kurasakan. Harus diakui, aku memang tak suka Sam mencintai perempuan lain. Namun, perasaan dan badan ini tak sejalan. Aku malah membantu Sam mendekati Mary. Dan mulai menampung semua curahan hati Mary. Belakangan ini kami memang cukup dekat. Mary dan aku sama-sama menyukai film drama musikal. Akhirnya, kami sering meluangkan waktu untuk menonton film dan sekedar berbincang-bincang tentang kedekatan Mary dan Sam.

Seiring waktu, aku dekat dengan Mary, begitu pun hubunganku dengan Sam. Dua orang ini saling menyukai. Kehadiranku tak boleh menjadi dinding besar yang menghalangi mereka. Di satu sisi, dimana Mary terus bercerita tentang kemajuan hubungannya dengan Sam, aku dengan polos tersenyum. Membiarkan deretan gigi menutupi kepedihanku. Lalu, ketika sadar hanya ada aku dan Tuhan, aku membiarkan air mata jatuh tak tertahan dan menyesal apa yang telah kuperbuat selama ini. Namun, sudah terlambat untuk mengakhiri. Aku terlalu jauh membantu mereka.

Aku bukan lagi diriku. Aku bagaikan robot yang tak berperasaan. Membiarkannya semua mengalir. Membiarkan apa yang kulakukan menyakiti hati ini. Aku bodoh. Pengecut. Dan satu lagi.
Munafik.
***


to be continued