Seperti biasanya, hujan
turun tanpa diduga. Aku masih termangu dengan badan sedikit basah karena
menerobos hujan. Di dalam ruangan yang tak begitu luas, aku duduk ditemani suara mesin
pendingin ruangan bersama beberapa teman saja karena yang lainnya
belum datang. Mungkin hujan menyebabkan mereka akan telat mengikuti kursus
fotografi hari ini. Begitu pun Sam. Ia―yang merupakan temanku satu-satunya yang
berasal dari sekolah yang sama di kursus ini―tak kunjung datang.
Tiga menit sebelum bel, Sam datang dan duduk
disampingku. Wajahnya selalu cerah begitu membuka pintu ruangan, begitu lah
caranya menyapa teman-temannya. Ia memang orang yang ramah. Ku akui itu.
“Hai Mon.” sapanya untukku.
Aku balas tersenyum. Malas mengangkat mulut yang mulai
menggigil. Aku benci pendingin ruangan itu. Sepertinya, teman-teman di
sekeliling akan melihatku mati perlahan karena kedinginan.
Ditengah pembahasan mengenai penggunanaan diafragma dan speed yang tepat, Sam menyentuh lenganku dengan sikutnya. Aku tahu, itu adalah aba-aba ia
ingin bicara sesuatu.
“Apa?” aku menoleh.
“Lo kenapa, Mon?” jawabnya tanpa melihatku.
Pandangannya tetap tertuju pada papan tulis.
“Hah? Apanya yang kenapa?”
“Daritadi lo diem ajah, bro.” Nadanya ramah. Dia
menoleh padaku.
“Oh. Kedinginan gue Sam,” aku tertawa. “Tadi gue
sempet kehujanan terus sekarang AC-nya mantap banget nih! Hehe.” Ujarku panjang lebar.
“Oh karena itu. Gue kira kenapa. Mau pakai jaket gue?”
dia menunjukkan jaketnya yang sedang dipakainya.
“Hah? Eh?” aku menjawab seadanya. Kaget.
“Nih.” Sam mulai melepaskan jaket dari lengannya. Saat
ia hendak melepaskan jaket itu dari lengannya yang lain, aku mencegah.
Sebenarnya aku tidak benar-benar menolak pemberiannya.
Siapa sih manusia di dunia ini yang
menolak sesuatu yang sangat berguna bagi dirinya? Hanya saja, aku takut. Takut
jikalau menerima pemberiannya, nanti makhluk diruangan ini akan meledek bahwa
kami pacaran. Aku tidak suka diledek. Aku lemah saat berada diposisi itu. Hanya
bisa tersenyum memperlihatkan deretan gigi. Aku bahkan tidak bisa tidak
mengeluarkan ekspresi sekeras apapun usahaku. Tindakan itulah yang membuat
orang punya persepsi yang salah. Entahlah, itu urusan mereka di dunia mereka.
Guru-guru ditempat kursus ini juga sering menggoda aku
dan Sam. Karena aku satu-satunya orang yang tahu kenapa cowok itu tidak hadir.
Padahal alasan yang sebenarnya mengapa aku tahu adalah karena kami satu
sekolah. Kami sering bertemu. Namun menurutku, Sam tak mengindahkan mereka yang
terus menggoda. Kalau Sam bisa tak
mengacuhkannya, mengapa aku tidak? Ya ampun, ada apa denganku?!
“Eh! Nggak usah, Sam. Sumpah deh nggak usah,” aku
melepaskan genggaman tanganku di pergelangan tangan cowok yang disampingku. “I will survive, kok.” Jawabku
meyakinkan.
“Oh yaudah.” Jawabnya seadanya. Mungkin kecewa karena
sikapku, mungkin juga tidak.
***
Tahun pertama di sekolah membuatku ingin sekali membenturkan kepala ini
pada dinding kamar. Tugas yang menumpuk menjadi faktor utama kadar stressku
meningkat. Bagaikan ultimatum, guru mengeluarkan kumpulan tugas dari mulutnya
tanpa rasa bersalah.
Jarum panjang jam sudah kearah angka sebelas. Tepatnya, jam sebelas malam.
Seharusnya, jam-jam seperti ini aku sudah terbaring nyaman di tempat tidur dan
sedang menikmati indahnya euforia bunga tidur serta menganggumi cantiknya
bunga-bunga di padang Kashmir. Untuk kali ini, aku relakan angan-angan itu. Aku
relakan hanya untuk menyelesaikan makalah walau dengan setengah hati.
Saat sedang mengetik, tiba-tiba kotak chatting terbuka. Ada seseorang mengirim
pesan untukku. Aku baru sadar bahwa sejak tadi status kontakku dijejaring
sosial itu adalah online. Di kotak
pesan itu tertera nama Sam. Ya, aku tak salah baca. Akhir-akhir ini kami memang
lebih sering chatting daripada
mengirim pesan singkat. Hemat pulsa, katanya.
Samuel : mon, kok belum tidur jam segini?
Mona : iya nih sam. Lagi ngerjain tugas pak jo.
Yg makalah itu lhoooo.
Ga kelar2 nih hehe
Samuel : oh yang itu.
Diterusin besok aje kali mon.
Sekarang lu tidur ajah
Mona : nanggung ah sam. Besok mau gue kumpulin
Samuel : mending lu tidur. Nanti mata lu berair lho
Mona : ha? Kok berair?
Samuel : iya. Kan mata lu kecapean. Jadinya berair mon.
gamau kan? Tidur ya?
Mona : iya deh sam. Gue duluan ya tidurnya. Bye..
Ada apa dengan Sam? Kenapa ia menjadi begitu perhatian denganku? Apa
mungkin hal seperti itu merupakan hal yang biasa sebagai seorang teman? Atau
aku saja yang terlalu menganggapnya berlebihan, benarkah?
***
to be continued
No comments:
Post a Comment
what do you think?