Friday, December 9, 2011

If I Say: part 1

Seperti biasanya, hujan turun tanpa diduga. Aku masih termangu dengan badan sedikit basah karena menerobos hujan. Di dalam ruangan yang tak begitu luas, aku duduk ditemani suara mesin pendingin ruangan bersama beberapa teman saja karena yang lainnya belum datang. Mungkin hujan menyebabkan mereka akan telat mengikuti kursus fotografi hari ini. Begitu pun Sam. Ia―yang merupakan temanku satu-satunya yang berasal dari sekolah yang sama di kursus ini―tak kunjung datang.
           
Tiga menit sebelum bel, Sam datang dan duduk disampingku. Wajahnya selalu cerah begitu membuka pintu ruangan, begitu lah caranya menyapa teman-temannya. Ia memang orang yang ramah. Ku akui itu.
           
“Hai Mon.” sapanya untukku.
           
Aku balas tersenyum. Malas mengangkat mulut yang mulai menggigil. Aku benci pendingin ruangan itu. Sepertinya, teman-teman di sekeliling akan melihatku mati perlahan karena kedinginan.
           
Ditengah pembahasan mengenai penggunanaan diafragma dan speed yang tepat, Sam menyentuh lenganku dengan  sikutnya. Aku tahu, itu adalah aba-aba ia ingin bicara sesuatu.
             
“Apa?” aku menoleh.
             
“Lo kenapa, Mon?” jawabnya tanpa melihatku. Pandangannya tetap tertuju pada papan tulis.
             
“Hah? Apanya yang kenapa?”
             
“Daritadi lo diem ajah, bro.” Nadanya ramah. Dia menoleh padaku.
             
“Oh. Kedinginan gue Sam,” aku tertawa. “Tadi gue sempet kehujanan terus sekarang AC-nya mantap banget nih! Hehe.” Ujarku panjang lebar.
             
“Oh karena itu. Gue kira kenapa. Mau pakai jaket gue?” dia menunjukkan jaketnya yang sedang dipakainya.
             
“Hah? Eh?” aku menjawab seadanya. Kaget.

“Nih.” Sam mulai melepaskan jaket dari lengannya. Saat ia hendak melepaskan jaket itu dari lengannya yang lain, aku mencegah. 

Sebenarnya aku tidak benar-benar menolak pemberiannya. Siapa sih manusia di dunia ini yang menolak sesuatu yang sangat berguna bagi dirinya? Hanya saja, aku takut. Takut jikalau menerima pemberiannya, nanti makhluk diruangan ini akan meledek bahwa kami pacaran. Aku tidak suka diledek. Aku lemah saat berada diposisi itu. Hanya bisa tersenyum memperlihatkan deretan gigi. Aku bahkan tidak bisa tidak mengeluarkan ekspresi sekeras apapun usahaku. Tindakan itulah yang membuat orang punya persepsi yang salah. Entahlah, itu urusan mereka di dunia mereka.

Guru-guru ditempat kursus ini juga sering menggoda aku dan Sam. Karena aku satu-satunya orang yang tahu kenapa cowok itu tidak hadir. Padahal alasan yang sebenarnya mengapa aku tahu adalah karena kami satu sekolah. Kami sering bertemu. Namun menurutku, Sam tak mengindahkan mereka yang terus menggoda. Kalau Sam bisa tak mengacuhkannya, mengapa aku tidak? Ya ampun, ada apa denganku?!
             
“Eh! Nggak usah, Sam. Sumpah deh nggak usah,” aku melepaskan genggaman tanganku di pergelangan tangan cowok yang disampingku. “I will survive, kok.” Jawabku meyakinkan.
             
“Oh yaudah.” Jawabnya seadanya. Mungkin kecewa karena sikapku, mungkin juga tidak.
***

Tahun pertama di sekolah membuatku ingin sekali membenturkan kepala ini pada dinding kamar. Tugas yang menumpuk menjadi faktor utama kadar stressku meningkat. Bagaikan ultimatum, guru mengeluarkan kumpulan tugas dari mulutnya tanpa rasa bersalah.
             
Jarum panjang jam sudah kearah angka sebelas. Tepatnya, jam sebelas malam. Seharusnya, jam-jam seperti ini aku sudah terbaring nyaman di tempat tidur dan sedang menikmati indahnya euforia bunga tidur serta menganggumi cantiknya bunga-bunga di padang Kashmir. Untuk kali ini, aku relakan angan-angan itu. Aku relakan hanya untuk menyelesaikan makalah walau dengan setengah hati.           

Saat sedang mengetik, tiba-tiba kotak chatting terbuka. Ada seseorang mengirim pesan untukku. Aku baru sadar bahwa sejak tadi status kontakku dijejaring sosial itu adalah online. Di kotak pesan itu tertera nama Sam. Ya, aku tak salah baca. Akhir-akhir ini kami memang lebih sering chatting daripada mengirim pesan singkat. Hemat pulsa, katanya.
           
Samuel : mon, kok belum tidur jam segini?
Mona : iya nih sam. Lagi ngerjain tugas pak jo.
Yg makalah itu lhoooo.
Ga kelar2 nih hehe
Samuel : oh yang itu.
Diterusin besok aje kali mon.
Sekarang lu tidur ajah
Mona : nanggung ah sam. Besok mau gue kumpulin
Samuel : mending lu tidur. Nanti mata lu berair lho
Mona : ha? Kok berair?
Samuel : iya. Kan mata lu kecapean. Jadinya berair mon.
gamau kan? Tidur ya?
Mona : iya deh sam. Gue duluan ya tidurnya. Bye..

            Ada apa dengan Sam? Kenapa ia menjadi begitu perhatian denganku? Apa mungkin hal seperti itu merupakan hal yang biasa sebagai seorang teman? Atau aku saja yang terlalu menganggapnya berlebihan, benarkah?
***


to be continued 

No comments:

Post a Comment

what do you think?