8 bulan kami―aku dan Sam―berteman,
hubungan kami semakin dekat. Namun, hanya sebatas teman. Aku mencoba untuk
menahan perasaanku yang tak karuan. Beberapa hal aneh terjadi pada raga ini. Aku
mulai senang menerima pesan singkat dari Sam. Sangat nyaman bila bercengkrama
dengannya. Aku tahu jelas perasaan yang sedang kualami. Perasaan manusiawi yang
timbul bila orang itu tertarik dan merasa nyaman terhadap orang yang lainnya.
Aku mencoba menangkis rasa itu. Apadaya, usahaku sia-sia. Aku mulai
mencintainya.
Aku masih bersikeras membuang
jauh-jauh rasa cintaku pada dia. Perasaan yang tak wajar, bahkan tak kuharapkan
sama sekali kedatangannya. Rasa cinta ini hanya penganggu apalagi bila tak terbalas.
Dan aku semakin ingin memusnahkan perasaan ini ketika tahu dia mulai tertarik
dengan orang lain.
Kuberikan minuman kaleng isotonik padanya.
“Nih Sam!”. Kami duduk di kantin, terletak meja panjang putih di depannya.
“Trims,” ucapnya tersenyum dan
mengambil minuman ditanganku. “Oh iya, lo tahu nggak anak cewek baru yang ada
di tempat kursus kita?”
Aku mengambil posisi duduk tepat di
depannya. Di sepanjang meja itu kosong, hanya kami berdua yang menempatinya.
“Iya tahu,” aku mengangguk. “Siapa namanya? Me... Ma... Aduh lupa.” Aku tertawa
renyah menutupi malu karena tak pandai mengahapal nama seseorang.
“Mary.” Jawabnya. Aku teringat dengan
siswi baru yang berparas indah. Mata birunya sangat mengagumkan. Rambutnya yang
bergelombang kecokelatan dibiarkan terurai dengan indah dibalik punggungnya.
Anggun. Kulitnya yang kuning langsat pun mulus tak bernoda. Benar-benar wanita
yang diidolakan kaum adam.
Semua cowok di kelas heboh membicarakannya.
Aku kira Sam satu-satunya cowok yang tak begitu tertarik dengan “Barbie” itu. Karena
saat semua orang sibuk menganggumi manusia berparas bidadari, hanya Sam yang
duduk dalam diam di sampingku. Dugaanku meleset. Sam tak lebih seperti semua
lelaki yang menganggumi wanita cantik.
“Nah iya Mary!” aku tertawa kembali.
Entah mengapa, saat aku bersama Sam, yang ingin ku lakukan hanya tertawa. Salah
tingkah, mungkin. “Emangnya kenapa, Sam?”
“Nggak, nggak apa-apa.” Ucapnya
tersenyum. Manis sekali.
“Ah masa? Lo suka ya?” Godaku. Begitu
spontan.
Dia tersedak minuman. Mungkin dia tak
menyangka aku akan menggodanya. “Apa sih lo! Rese.” Jawabnya dengan sedikit kesal.
“Kalo suka, bilang ajah kali Sam.
Nggak usah ditutup-tutupin,” aku makin bersemangat menggodanya. Lalu aku menepuk
pundaknya, “Masih kaku ajah lo ama gue.”
“Apa deh lo, Mon.” Sam pasrah. “Hmm...
By the way, si Mary cantik ya?”
ucapnya sedikit nada ragu tersirat.
Kali ini aku yang tersedak. Tak
menyangka Sam akan mengeluarkan pertanyaan―mungkin lebih tepat disebut
pernyataan―seperti itu. Bingo! Dia membuat orang yang berada di depannya patah
hati. Bisa kurasakan, hati ini mulai runtuh menjadi partikel-partikel terkecil
di alam semesta. Patah hati untuk orang yang sedang jatuh cinta memang wajar.
Aku percaya, setiap orang yang pernah jatuh cinta pasti pernah patah hati juga.
“Lo kenapa, Mon? Pelan-pelan dong Mona
minumnya.” Sam meninggalkan kursinya. menghampiri lalu mengelus punggungku.
Aku, yang hidungnya masih sakit karena tersedak, berdebar-debar. Suara Sam yang
begitu hangat terasa dekat. Sepertinya, bibir Sam hanya berjarak beberapa
milimeter dari cuping telingaku.
Kalau
memang kau mulai tertarik dengan orang lain, mengapa kau masih bersikap manis
padaku, Sam? Tak kasihankah kau padaku? Apa kau sengaja membiarkanku memiliki
harapan kosong?
“Gue nggak apa-apa kok,” mengangguk
pelan. “Tadi cuma keselek doang.” Aku
tertawa dengan suku kata yang jelas. Terdengar sangat dipaksakan. “Iya, Mary cantik. Seengganya lebih
cantik daripada gue.” aku memberikan lelucon, yang sepertinya terdengar tak
lucu.
***
Sekarang aku semakin tak mengerti apa
yang kurasakan. Harus diakui, aku memang tak suka Sam mencintai perempuan lain.
Namun, perasaan dan badan ini tak sejalan. Aku malah membantu Sam mendekati
Mary. Dan mulai menampung semua curahan hati Mary. Belakangan ini kami memang
cukup dekat. Mary dan aku sama-sama menyukai film drama musikal. Akhirnya, kami
sering meluangkan waktu untuk menonton film dan sekedar berbincang-bincang
tentang kedekatan Mary dan Sam.
Seiring waktu, aku dekat dengan Mary,
begitu pun hubunganku dengan Sam. Dua orang ini saling menyukai. Kehadiranku
tak boleh menjadi dinding besar yang menghalangi mereka. Di satu sisi, dimana
Mary terus bercerita tentang kemajuan hubungannya dengan Sam, aku dengan polos
tersenyum. Membiarkan deretan gigi menutupi kepedihanku. Lalu, ketika sadar
hanya ada aku dan Tuhan, aku membiarkan air mata jatuh tak tertahan dan
menyesal apa yang telah kuperbuat selama ini. Namun, sudah terlambat untuk
mengakhiri. Aku terlalu jauh membantu mereka.
Aku bukan lagi diriku. Aku bagaikan
robot yang tak berperasaan. Membiarkannya semua mengalir. Membiarkan apa yang
kulakukan menyakiti hati ini. Aku bodoh. Pengecut. Dan satu lagi.
Munafik.
***
to be continued
No comments:
Post a Comment
what do you think?