Orang lain bilang aku bodoh. Awalnya aku tak peduli. Namun,
waktu menyadarkanku. Dan aku benar-benar merasa paling bodoh ketika aku tetap
meneruskan scene ini. Kau tahu hal tolol apa yang membuatku seperti ini? Kamu.
Kau adalah orang yang tak bisa kutelusuri pikirannya. Otakmu
tak transparan seperti mereka. Dengan begitu pun aku tahu, kau akan
melakukan hal yang ‘spesial’
untukku. Sayangnya, hal ‘spesial’ itu
tak diharapkan.
Kau adalah manusia terbanyak dan tercepat untuk mengubah
ekspresi di wajahmu. Terkadang itu lucu, semakin banyak alasan aku ingin
dekatmu. Terkadang itu pahit. Tiap kali kita bertemu, tiap kali itu juga kau
diam tanpa alasan. Suasana bernuansa cinta, mengapa kau tiba-tiba bergeming?
Mungkinkah hanya aku yang terlena oleh cinta?
Kau adalah malaikat untuk semua orang dan aku tak suka itu.
Aku benci ketika teman-temanku membicarakanmu tentang kelakuanmu yang
menyenangkan. Kenapa mereka bisa merasakannya dan aku tidak? Kau selalu
berkutat dengan otakmu ketika kita berdua dan lagi-lagi akulah yang harus
mencairkan suasana. Aku berani sumpah, kita akan diam sampai akhir kalau aku
menurut pada ego. Memang, matahari mampu mencairkan salju dikedua kutub.
Akankah kau ingat? Aku bukanlah matahari. Aku bukanlah matahari yang terus
berbaik hati berbagi kehangatan. Aku hanya matahari palsu yang berusaha membuat
salju meleleh. Dan sekarang cahaya matahari palsu itu redup, energinya sekarat.
Lelah untuk berpura-pura terang. Matahari itu ingin istirahat, namun ia tak mau
membuat kutubnya menjadi salju abadi.
Banyak hal yang kupelajari saat bersamamu. Aku menjadi
manusia yang bisa mengalah. Aku belajar darimu. Kau marah, aku mengalah. Kau
lelah, aku mengalah. Aku marah? Kau akan lebih marah dan lagi-lagi aku
mengalah. Cukup! Terlalu banyak praktek mengalah. Kau memberiku ujian? Itukah
tes untuk menurunkan keegoisanku? Aku memang sudah bisa mengalah, kau berhasil.
Kau juga berhasil membuatku lemah.
Kau sulit untuk meminta maaf tetapi mengapa begitu mudah
mengajarkanku? Aku salah, aku pasti minta maaf. Kau salah, aku minta maaf.
Kapan waktumu untuk memperbaiki sifatmu? Sekali lagi, aku lemah.
Jadi, itu adalah peraturan-tak-tertulis hubungan-tak-jelas
kita?
Aku bertanya keadaanmu. Lalu kau menjawab dan kau tak
bertanya tentangku. Aku diam. Aku sakit. Memintamu untuk mengantarku dan kau
biarkanku menunggu. Aku diam. Kau bercerita ke teman perempuanmu panjang-lebar,
sangat ekspresif. Dan kau hanya membutuhkan tak lebih tiga kata untuk menjawab
aku. Dan aku masih diam.
Begitukah caramu memberi perhatian? Aku memang terlalu naif,
tak seperti kamu yang handal dalam urusan cinta. Ironis sekali hidupku!
Kau tahu? Aku rindu saat kita berteman dulu. Saat kau selalu
bersifat manis. Mendekat padaku kapanpun. Kau mengirimiku lebih dari satu
pesan. Aku ingin kembali seperti dulu. Disaat kau berjuang merebut mahkota
hatiku.
Aku ingin mengutarakannya. Semuanya. Namun, aku tahu apa
yang akan terjadi sesudahnya. Kau pasti bilang, “kalau kau tak suka, mengapa
tak kita akhiri?”. Lalu, apa yang harus kujawab?
Dari awal aku tahu akan seperti ini. Tak nyaman. Tetapi, aku
bosan memperingatkan diri sendiri untuk tidak bersamamu. Dan sekarang aku harus
terima resiko ini. Aku ingin pergi darimu. Ingin sekali. Namun, aku tak mau
membuatmu pergi dan jauh dariku. Bisakah kau memberiku solusi?